Pertemuan adalah sebuah misteri dalam kehidupan setiap manusia. Siapapun akan menjalaninya. Bertemu dengan yang asing dan yang tak lagi asing. Bertemu dengan yang diinginkan dan yang tak diinginkan. Tak peduli, walaupun sebenarnya kita lebih memilih bertemu ia daripada dia. Setiap pertemuan sejatinya telah mengajari kita sebuah kedewasaan. Bagaimana kita menerima dan menyikapi saat bertemu dengan berbagai karakteristik orang. Ego yang ada dalam diri bukan untuk ditinggikan namun bagaimana kita bisa mengendalikan dan menempatkan ego itu dengan tepat dalam setiap pertemuan yang terjadi. Maka secara dinamis, pertemuan mengajarkan kita bahwa idealisme diri itu bisa berjalan sejajar dengan kita mampu menghargai orang lain. Bertolak dari kesadaran ego dan idealisme dalam diri tiap orang, saya membayangkan apa jadinya jika kita sebagai manusia dalam satu keluarga yg karakteristik/identitas kuat berada dalam satu meja makan.
Ada yang bersembunyi (dalam hal ini topeng), ada yang bermain-main dengan pensil dan tangan membuat jiplakan tangan pada kertas, anak perempuan dengan kegeramannya, dan kosongnya anak laki laki menatap meja makan. Mereka semua bertahan pada ambisinya masing-masing meski sudah duduk bersama dalam ruang keintiman yaitu meja makan.
Seorang pengamat keluarga pernah menyatakan interaksi yang paling intensif terjadi bila orang saling menyentuh. Meskipun teknologi informasi menawarkan banyak peranti canggih, tetapi tidak sampai memenuhi esensi kebutuhan orang akan komunikasi: adanya sentuhan fisik dan emosi yang hanya didapat jika bertatap muka, berada dalam satu waktu dan ruang yang sama. Sentuhan fisik dan ekspresi emosi tidak bisa diketik atau diwakilkan dengan emotikon, emoji, bahkan video call sekalipun.
Selama pandemi ini kita jadi sering makan bareng keluarga di meja makan. Termasuk saya. Aktivitas di rumah yang semakin banyak, karena rumah berubah sekaligus jadi kantor dan tempat belajar. Otomatis butuh “kantin” juga.
Selama masa pandemi ini meja makan menjadi salah satu pendukung kegiatan produktif di rumah. Tidak ada meja makan, tidak ada pula yang bisa menyatukan anggota keluarga di tengah padatnya jadwal pertemuan virtual setiap harinya yang saling susul menyusul jamnya. Meja makan tidak hanya tampil sebagai alas untuk hidangan, atau bahkan sebagai pemanis ruangan. Bukan. Selama masa pandemi ini meja makan menjadi salah satu pendukung kegiatan produktif di rumah.
Apa jadinya jika moment di meja makan juga masih harus bertahan pada egonya masing masing. Keanehan yg berusaha saya tunjukkan semata mata untuk menunjukkan fenomena pertemuan sakral dalam keluarga namun kalah oleh ambisi dan ego.
Dengan kembali ke meja makan menjadikan momen makan bersama sebagai wadah keluarga untuk dapat berinteraksi dan mempererat rasa kasih sayang sehingga akan terbentuk keluarga yang berkualitas. Dan orang tua pun dapat menglihat secara langsung ekpresi perubahan anak-anak dan dapat membimbing secara spritual untuk memperkuat anak-anak menghadapi perubahan di perkembangan zaman di lingkungan sekitar Maka dari itu kita sebagai manusia yang pada hakikatnya adalah bersosialisasi, berkomunikasi, dan berelasi satu dengan lainnya, baiknya berefleksi ke dalam diri sendiri. Apakah ego dan ambisi dalam diri kita sudah pada ruang yang tepat atau belum. Empat bola mata melambangkan wadah bentuk cerminan melihat diri sendiri kembali.
So, jangan jadikan pandemi COVID-19 ini selalu berakhir masalah. Jika kita bisa melihat situasi sekarang dari sisi positif, akan membuat hidup lebih bahagia dan berdampak pada kesehatan mental dan psikis. Yuk biasakan kembali makan bersama di meja makan. Berpikir kembali, apakah ego kita merusak hubungan kita bagi sesama dalam skenario pertemuan di meja makan.By Alberto Hotasi